DECEMBER 9, 2022
Kolom

Denny JA: Lesehan Menonton Kabaret Transpuan di Yogyakarta

image
Ilustrasi acara kabaret bagi para transpuan. (Lifestyleabc.com)

Ini sebuah panggung di mana mereka bisa menampilkan diri yang sejati. Di atas panggung, mereka bisa melepaskan beban norma sosial yang mengungkung. Mereka justru merayakan identitas transpuan dengan penuh kebanggaan. 

Setiap tarian, setiap gerakan di atas panggung itu deklarasi bahwa mereka ada, mereka diakui, dan mereka diterima oleh penonton yang mendukung.

Namun, saat saya membandingkan kedua pertunjukan tersebut, dengan kabaret asli di Eropa, ada satu elemen yang terasa absen.

Baca Juga: In Memoriam: Faisal Basri dan Nyanyian Suara Kritisnya di Mata Denny JA

Yaitu tak hadirnya satire dan kritik sosial di sela-sela lagu dan tarian. Kabaret klasik di Eropa, terutama di *Weimar Republic* pada 1920-an, tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga media untuk menyampaikan kritik sosial yang tajam. (1)

Mereka menggunakan satire untuk menyapa dan mengkritik pemerintah, kebijakan politik, dan kemerosotan moral masyarakat saat itu. Namun acapkali kritik itu disampaikan secara humoris.

Sebenarnya ada peluang bagi para seniman transpuan di Yogyakarta untuk menggunakan kabaret ini sebagai alat kritik sosial yang lebih kuat. Misalnya mereka menyelipkan komentar isu lokal seperti ketidaksetaraan gender, diskriminasi, atau bahkan politik nasional.

Baca Juga: Tafsir Hermeneutika Lukisan Denny JA: Menyingkap Makna Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia

Namun saya memahami. Satire atau kritik sosial itu mungkin sengaja dihindari agar panggung transpuan ini tak menambah kontroversi. *

Jogjakarta, 8 September 2024

CATATAN  
(1) Aslinya, kabaret menyelipkan satire dan kritik sosial  

Baca Juga: Lavina Putri Akbar Juara Lomba Swafoto Festival Toleransi Indonesia 2024 Bersama Lukisan Denny JA

https://lwlies.com/articles/cabaret-bob-fosse-social-critique/

Halaman:
1
2
3

Berita Terkait