Catatan Denny JA: Sentimen Nasional di Era Algoritma
- Penulis : Bramantio Bayuajie
- Jumat, 17 Januari 2025 10:09 WIB
LIFESTYLEABC.COM - “Setiap generasi menemukan makna nasionalisme dalam cermin zamannya.”
Dulu, nasionalisme berakar pada tanah, bahasa, dan sejarah. Ia hidup dalam cerita para leluhur, dalam nyanyian perjuangan, dalam kenangan tentang tanah yang dipertahankan dengan darah.
Namun kini, dunia kita telah berubah. Era algoritma menghadirkan tantangan baru. Identitas yang dulunya terpahat pada tradisi kini tersusun dalam jaringan digital yang tak mengenal batas.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Kutukan yang Diwariskan Turun Temurun
Di tengah perubahan ini, muncul pertanyaan mendalam: bagaimana kita memahami nasionalisme dalam ruang tanpa sekat, di mana pixel dan sinyal menjadi medium utama interaksi manusia?
Batas-batas fisik, yang dulu membedakan kita sebagai bangsa, mulai mencair. Seorang pemuda Indonesia mungkin lebih akrab dengan budaya pop Korea daripada tradisi lokalnya sendiri.
Namun, ini bukan berarti nasionalisme mati. Ia hanya bermutasi. Nasionalisme, seperti kehidupan itu sendiri, mencari cara untuk bertahan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Pentingnya Mengawinkan Isu Sosial dan Puisi
Nasionalisme di era algoritma adalah tentang kesadaran. Ia bukan lagi hanya soal mempertahankan batas fisik, tetapi tentang menemukan akar di tengah arus globalisasi.
Di balik layar ponsel dan algoritma yang terus memetakan perilaku kita, ada bisikan halus yang mengingatkan: “Kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar.”
Seperti yang digambarkan dalam puisi esai saya (Denny JA), seorang pemuda bernama Darta bertanya, “Apakah arti tanah air di zaman ini?” Dalam dunia digital yang tanpa batas, ia merasakan kebingungan, namun juga keajaiban: bahwa meski dunia meluas, cinta pada tanah air tetap tumbuh.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Salman Berjumpa Tunawisma di London
Media sosial, algoritma, dan kecerdasan buatan memang membawa tantangan baru. Emosi, yang dulu menjadi penggerak nasionalisme, kini dimanipulasi oleh mesin. Polarisasi isu, berita palsu, dan narasi yang diprogram mengancam rasa kebangsaan kita. Namun, di balik itu semua, tersimpan peluang.