Peluncuran 10 Video “Agama di Era Artificial Intelligence: Pemikiran Denny JA"
- Penulis : Bramantio Bayuajie
- Sabtu, 03 Agustus 2024 11:40 WIB
Gaus mengutip pandangan Denny JA bahwa dalam agama tidak ada tafsir tunggal setelah Nabi wafat. Yang tersisa ialah multi penafsiran, di mana satu sama lain saling berebut tafsir.
Justru ruang publik penting sekali diisi oleh kelompok progresif agar tafsir mereka menjadi arus utama dalam isu-isu krusial saat ini seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan diskriminasi LGBT. Perebutan tafsir itu sudah dilakukan oleh kalangan progresif di Amerika dan Eropa.
Berbeda dengan kaum sekularis dan ateis, Denny JA tidak menolak agama.
Alih-alih, Denny justru menyelami samudera agama dan mengambil mutiara yang tersimpan di dalamnya. Ia belajar dan mengambil banyak dari renungan-renungan ulama-penyair-sufi Jalaluddin Rumi yang memandang hati sebagai rumah Tuhan dan diri sebagai semesta sehingga lahir kesadaran mengenai rasa menyatu (oneness) dengan keseluruhan.
Berbeda dengan Spiritualitas Gerakan New Age yang skeptis terhadap sains dan agama, Denny JA justru mengembangkan jenis spiritualitas yang didasarkan pada riset sains.
Itulah yang disebutnya Spiritualitas Baru Abad 21 yang sepenuhnya narasi pengetahuan.
Baca Juga: Satrio Arismunandar Sebagai Pendiri AJI Prihatin Saat Wartawan Ikut Terlibat Dalam Judi Online
Dan dia mengambil intisari agama yang bersifat universal tanpa mereduksi keunikan setiap agama, apalagi mencampakkannya.
Agama tumbuh dalam budaya yang berbeda-beda di setiap negara, dan berdasarkan itu muncul tafsir yang sesuai dengan kebutuhan kontekstual.
Berdasarkan itu Denny JA menyerukan agar umat Islam Indonesia, misalnya, mengembangkan tafsir mereka sendiri yang sesuai kebutuhan. Sebagaimana umat Islam di Eropa yang mengembangkan tafsir mereka sendiri.
Dari sepuluh tema yang ditayangkan dalam video buku ini, benang merahnya dapat ditarik dari gagasan utama Denny JA yaitu: “Agama-agama adalah warisan kultural milik bersama umat manusia.”