Catatan Denny JA: Hukum Kedua Hidup Bermakna, Positivity
- Penulis : Bramantio Bayuajie
- Sabtu, 19 Oktober 2024 09:10 WIB

-000-
Positivity dalam Ajaran Agama dan Filsafat
Positivity bukanlah konsep baru. Ia telah ada selama ribuan tahun dalam berbagai ajaran spiritual dan filsafat di seluruh dunia.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Kubawa Cincin Janjiku
Dalam Islam, husnuzon (berprasangka baik) mengajarkan kita untuk selalu berprasangka baik kepada Tuhan dan sesama manusia. Meski cobaan datang, umat Muslim diajarkan untuk percaya bahwa setiap kesulitan memiliki hikmah tersendiri.
Dalam agama Kristen, positivity tercermin dalam ajaran kasih dan pengampunan. Yesus Kristus mengajarkan kita untuk mencintai bahkan musuh kita.
Sikap ini adalah puncak positivity—pengampunan adalah kebesaran jiwa yang hanya mungkin dicapai melalui pandangan positif yang mendalam terhadap manusia dan kemanusiaan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Nasionalisme di Era Algoritma
Buddhisme mengajarkan metta atau cinta kasih tanpa syarat, di mana kita memelihara pikiran positif terhadap semua makhluk.
Positivity dalam Buddhisme bukan sekadar perasaan baik, tetapi merupakan latihan harian dalam memberikan cinta kasih dan kebaikan kepada diri sendiri dan orang lain, melampaui ego dan batas diri.
Dalam ajaran Hindu, konsep santosh (kepuasan batin) mengajarkan positivity dalam bentuk penerimaan—bukan pasrah, tetapi penerimaan yang aktif dan sadar akan apa yang terjadi, sambil terus berusaha menuju kebaikan yang lebih besar.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Wahai para Esoteris Berkumpulah
Konfusianisme mengajarkan pentingnya harmoni sosial, yang hanya bisa dicapai dengan sikap positif terhadap hubungan dengan orang lain. Melalui tindakan yang etis dan bertanggung jawab, positivity menciptakan keharmonisan dalam hubungan antarindividu dan masyarakat.