I Ketut Surajaya Sampaikan Banyaknya Peraturan Untuk Raih Gelar Doktor atau Profesor
- Penulis : Bramantio Bayuajie
- Jumat, 26 Juli 2024 12:41 WIB
LIFESTYLEABC.COM - I Ketut Surajaya, Guru Besar Studi Jepang, Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI (SKSG UI) dalam diskusi bersama SATUPENA menyampaikan banyaknya peraturan yang tidak jelas tujuannya untuk meraih gelar akademik doktor atau profesor
Hal ini disampaikan oleh I Ketut Surajaya dalam diskusi bersama SATUPENA dengan tema "Menjaga Marwah Gelar Akademik" pada hari Kamis, 25 Juli 2024 kemarin yang diketuai oleh Denny JA.
Diskusi yang menghadirkan I Ketut Surajaya itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA dan dipandu oleh moderator Elza Peldi Taher dan Amelia Fitriani.
Dalam diskusi itu, I Ketut Surajaya memaparkan, peraturan untuk menjadi Doktor saja harus punya dua karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional berindeks Scopus.
“Saya termasuk orang yang sangat menentang hal ini. Kenapa? Yang meluluskan doktor itu apakah jurnal Scopus atau profesor dan dosen-dosennya di kampus? Tapi kan suara saya minoritas,” ujarnya.
“Saya bukan anti-Scopus, tetapi publikasi di jurnal Scopus sebaiknya jangan dijadikan syarat,” tegas I Ketut Surajaya.
“Sekarang kan mereka pusing. Saya ikut pusing karena harus meneliti tulisan orang, meneliti jurnal orang. Padahal di dalam jurnal itu berantem sendiri di antara mereka, untuk mencari tulisan-tulisan. Maka kemudian lahirlah jurnal predator semacam itu,” tutur pakar tentang Jepang ini.
“Saya simpulkan, jurnal ilmiah ini sudah menjadi industri. Menjadi kerjaan calo-calo. Kalau ditanya datanya, saya tak punya. Tetapi banyak orang mengaku terlibat hal ini. Itu yang terjadi sekarang,” tambahnya.
I Ketut Surajaya juga mengamati, para doktor sebelum jadi profesor biasanya sudah menulis banyak karya ilmiah. Sesudah jadi profesor, seharusnya mereka menulis lebih banyak lagi.
Baca Juga: Satrio Arismunandar Sebut Terlalu mengagungkan Gelar Akademik bisa Jadi Pertanda Indikasi Feodalisme
“Tetapi yang saya lihat, sesudah orang itu jadi profesor, dia tidak menulis lagi. Kan tidak nyambung, jadi karya ilmiah itu cuma diperlakukan sebagai syarat saja,” lanjutnya.
“Saya paling senang jika ada profesor-profesor muda atau doktor-doktor muda. Jangan seperti teman saya atau guru-guru saya. Sekarang keluar SK Profesornya, minggu depannya dia sudah pensiun. Ini banyak terjadi,” tutur I Ketut Surajaya.
Dia juga memaparkan, berdasarkan data Kemendikbudristek, pada tahun 2022 ada sekitar 326,5 ribu dosen di Indonesia.
“Tetapi jumlah profesor atau guru besar masih sedikit. Dari 311,63 ribu dosen aktif di Indonesia, hanya sekitar 2,61 persen yang jadi profesor atau guru besar,” jelasnya. *