Qurban Dalam Ritual Idul Adha Sebagai Simbol Solidaritas Sosial
- Penulis : Bramantio Bayuajie
- Selasa, 06 Agustus 2024 09:45 WIB
*Husein Muhammad*
LIFESTYLEABC.COM - Seorang teman lama saya yang baik, Anick HT, mengirimi saya, via WA, sebuah tulisan seorang intelektual, penulis, sastrawan, spiritualis dan kritikus terkemuka Indonesia, Denny JA. Judul tulisan itu menarik hati, "Akan Menguatkah: Tafsir yang Tak Lagi Harus Hewan Dijadikan Kurban Ritus Agama".
Denny tampaknya terkesima dan tergoda sekaligus ingin merespons sebuah tulisan yang amat provokatif dari seorang jurnalis, Shahid Ali Muttaqi, berjudul "An Islamic Perspective Against Animal Sacrifice". Intinya, Muttaqi berharap kurban sebagai bagian dari tradisi ritual haji tidak hanya hewan, melainkan bisa diganti dengan yang lain.
Baca Juga: Satrio Arismunandar Sebut Terlalu mengagungkan Gelar Akademik bisa Jadi Pertanda Indikasi Feodalisme
Saya lalu membacanya. Saya senang. Ini isu yang sesungguhnya sudah lama tersimpan dalam pikiran saya dan ingin membincangkannya saban datang Bulan Haji, sebagaimana membincang masalah zakat. Saya dengan segera menulis respons atas problem ini. Semoga bermanfaat.
Prosesi terakhir haji adalah Qurban. Ini sesungguhnya ritual tambahan dan anjuran kepada jemaah haji, kecuali jika dia melanggar kewajiban dalam haji. Ia didenda. Dalam bahasa fikih disebut "dam". Kata ini bermakna "darah".
Kata "Qurban", secara harfiah awal ia berarti dekat atau mendekatkan diri. Dalam Haji ia berarti mendekatkan diri kepada Allah, melalui penyembelihan ternak. Sebutan lain adalah "udh-hiyah" yang berarti, penyembelihan ternak.
Baca Juga: Denny JA: Kreator yang Menggunakan AI untuk Karya Seni Akan Semakin Dominan
Tujuan utama ritual ini agar orang menjadi dekat dengan Tuhan. Atau dalam bahasa populer disebut taqwa. Al-Qur’an menyebutkan:
لَنْ يَنَالَ اللهَ لحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ. كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ. وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ
"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak sampai kepada Allah, tetapi ketakwaan kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah mengaturnya supaya kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya dan agar kamu bersyukur. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S.Al-Hajj, [22]: 36).
Baca Juga: Respon atas Esai Denny JA soal Kurban Hewan di Era Animal Rights
Saya ingin menyampaikan bahwa makna genuin dari kata "taqwa" adalah pengendalian potensi-potensi kemanusiaan yang ada dalam diri manusia, dengan melaksanakan kebaikan sosial dan menghindari keburukan sosial.
### Transformasi Tradisi dan Kontekstualisasi
Peristiwa ini pada mulanya merupakan tradisi masyarakat pagan. Demi meraih kebahagiaan diri, para pemuka adat Arabia pra-Islam, dengan mengatasnamakan Tuhan, melakukan penyembelihan anak manusia, konon, sebagai bentuk pengorbanan diri atau persembahan untuk Tuhan.
Cara dan tindakan seperti ini secara akal sehat justru merupakan sebuah pelanggaran bahkan kejahatan kemanusiaan berat.
Kejahatan kemanusiaan model ini harus dihentikan. Tanpa menghilangkan tradisi berkorban itu, Allah SWT, melalui Nabi Ibrahim dan Ismail, menyerukan praktik pengorbanan tersebut diganti dengan penyembelihan hewan yang memberi manfaat bagi kesejahteraan sosial.
Seorang penafsir modern (Rasyid Ridha) menyatakan bahwa ibadah kurban melambangkan perjuangan kebenaran yang menuntut tingkat kesabaran, ketabahan dan pengorbanan yang tinggi.
Maka kurban dalam Haji merupakan simbol untuk perjuangan manusia mewujudkan solidaritas sosial-ekonomi demi kesejahteraan bersama.
Betapa menariknya manakala Allah menyatakan dengan jelas tentang komitmen kemanusiaan ini:
وَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا القَانِعَ وَالْمُعْتَر. كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menjinakkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” (Q.S. al-Hajj, [22]: 36).
Pandangan ini mengajak kita untuk menaruh perhatian yang tinggi kepada dimensi moral dan perjuangan kemanusiaan terutama terhadap orang-orang yang lemah secara ekonomi. Dan semua harus terus diperjuangkan bagi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosial.
Kepemihakan Islam terhadap komunitas manusia yang miskin atau dimiskinkan oleh struktur sosialnya merupakan komitmen utama Islam. Menyembelih hewan dari perspektif moral adalah menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang menyesatkan dan yang seringkali tidak peka dan tak peduli terhadap penderitaan orang lain.
Nah, jika demikian, maka pemaknaan atau pemahaman kita atas teks suci ini tidak harus terpaku pada makna dan bentuk literal, tekstual, harfiyah. Karena ia bisa bernuansa dan mengandung makna simbolik yang menyimpan makna tujuan esensial agama.
Saya selalu ingin mengatakan bahwa teks atau narasi apapun, termasuk al-Qur'an dan hadits Nabi, tidak hadir dalam ruang hampa. Ia selalu hadir untuk merespons kasus, persoalan, atau peristiwa yang ada saat dan tempat serta budaya di mana teks itu dihadirkan.
Menarik sekali pernyataan Dr. Nasr Hamid Abu Zaid. Ia juga seperti hendak mengkritisi cara pandang keagamaan yang berkembang. Pemikir progresif dari Mesir ini mengatakan:
الواقع هو الأصل، ولا سبيل إلى إهداره. من الواقع تكوّن النص، ومن لغته وثقافته صيغت مفاهيمه، ومن خلال حركته بفاعلية البشر تتجدد دلالته.. فالواقع أولاً، والواقع ثانياً، والواقع أخيراً. وإهدار الواقع لحساب نصّ جامد ثابت المعنى والدلالة يحول كليهما إلى أسطورة.. يتحول النص إلى أسطورة عن طريق إهدار بعده الإنساني والتركيز على بعده الغيبي . (نقد الخطاب الديني)
"Realitas adalah dasar dan ia tidak mungkin diingkari/diabaikan. Dari kenyataan (realitas) lahirlah teks. Dari bahasa dan budaya teks terbangunlah sistem pengetahuan (epistem). Sejalan dengan dialektika sosial, pemahaman atasnya akan terus berkembang.
Mengabaikan kenyataan hanya karena mempertahankan/mempertimbangkan teks yang beku, tanpa perubahan atas pemaknaannya akan menjadikan teks sebagai legenda.
Ini terjadi karena ia telah mengabaikan dimensi kemanusiaan dan memfokuskan diri pada dimensi masa lalu yang pergi”. (Naqd al Khithab al Diniy, hal. 99).
### Mengapa dan Untuk Apa Kurban Hewan Ternak
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad hadir di Jazirah Arabia. Salah satu budaya utama yang mendominasi Jazirah Arab sebelum munculnya Islam adalah budaya nomaden dalam sistem kesukuan.
Mere dan Suku Badui adalah penggembala nomaden yang mengandalkan kawanan kambing, domba, dan unta untuk mendapatkan daging, susu, keju, darah, bulu/wol, dan makanan lainnya.
Dengan kata lain, hewan terutama domba dan unta merupakan makanan masyarakat Arab pada umumnya.
Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai penggembala kambing saat kecil. Beliau menjadi salah satu nabi yang memiliki kambing dan merawatnya bersama Halimah, ibu susuannya.
Kendaraan beliau adalah unta. Saat berkesempatan mengunjungi daerah Hudaibiyah, saya menjumpai tempat penjualan hewan unta dan kambing. Maka pemberian kebaikan untuk masyarakat dalam bentuk daging kambing atau unta adalah sangat relevan.
Hari ini dunia telah berkembang dan berubah termasuk di wilayah Arab. Menu makanan yang merupakan kebutuhan pokok telah berkembang menjadi beraneka rupa. Di Indonesia, menu makanan yang populer, digemari dan kebiasaan masyarakat di banyak tempat adalah daging hewan ayam dan ikan, di samping kambing dan sapi.
Maka dalam konteks Indonesia, menyembelih ayam atau memberikan ikan, sebagai alternatif pengganti kurban kepada orang-orang miskin atau yang perlu dibantu adalah sangat bermanfaat.
Persoalan ini dalam pandangan saya merupakan persoalan budaya, bukan persoalan agama yang disebut sebagai "ta'abbudi", ibadah ritual murni.
Kita dapat menganalogikan kasus ini dengan kasus zakat fitrah. Nabi memerintah umat Islam membayar zakat fitrah dengan "sya'ir," gandum, atau "tamr," kurma, atau makanan lain yang menjadi tradisi di tempat dan saat itu.
Ini berbeda dengan di Indonesia atau di tempat lain dan di zaman yang lain. Dalam konteks Indonesia, makanan pokok adalah padi/beras. Dan zakat fitrah yang dibayarkan kaum muslimin adalah beras atau jagung.
Perkembangan lebih lanjut bahkan memperlihatkan kepada kita pembayaran zakat bisa dengan uang kertas, rupiah. Memberikan uang untuk kebutuhan rumah tangga sangat bermanfaat.
### Keniscayaan Perubahan Hukum
Perubahan hukum adalah keniscayaan sejarah. Sebuah kaidah hukum menyatakan:
تغيّر الفتوى واختلافِها بحسب تغيّر الأزمنة والأمكنة والأحوال والنّيّات والعوائد
"Perubahan fatwa dan perbedaannya tergantung pada perbedaan/perubahan zaman, tempat, kondisi sosial, motif, dan tradisi." (Ibn Qayyim, I'lam al Muwaqqi'in 'an Rabb al 'Alamin, vol. III, hlm. 3).
Perlu disampaikan bahwa perubahan hukum dalam al-Qur'an atau hadits Nabi tidaklah berarti mengubah hukum Tuhan, sepanjang sejalan dengan tujuan hukum, yaitu kemaslahatan, kepentingan publik luas.
Di tempat lain Ibn al Qayyim menegaskan:
الشريعة مبناها وأساسها على الحكم ومصالح العباد في المعاش والمعاد، وهي عدل كلها ومصالح كلها وحكم كلها فَكل مَسْأَلَة خرجت عَن الْعدْل إِلَى الْجور، وَعَن الرَّحْمَة إِلَى ضدها، وَعَن الْمصلحَة إِلَى الْمفْسدَة، وَعَن الْحِكْمَة إِلَى الْعَبَث فليستْ من الشَّرِيعَة، وإنْ أُدخلتْ فِيهَا بالتأويل (إعلام الموقعين: )3/1).
Hukum Islam dibangun dan didasarkan pada kebijaksanaan dan kepentingan para manusia di dunia dan akhirat, dan itu semua adil, semua maslahat, dan semua bijaksana.
Maka setiap keputusan hukum yang keluar dari keadilan menjadi menyimpang, dari kasih menjadi tidak kasih, dari maslahah menjadi kerusakan dan dari bijaksana menjadi sia-sia, maka bukanlah hukum Tuhan. (I'lam al- Muwaqqi'in: 3/1).
Imam Syihab al-Din al-Qarafi (w.1285 M), tokoh besar dalam mazhab Maliki, dalam bukunya yang terkenal “al-Furuq”, mengatakan:
فمهما تجدد فى العرف اعتبره ومهما سقطت أسقطه ولا تجمد على المسطور فى الكتب طول عمرك بل اذا جاءك رجل من غير إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وافته به دون عرف بلدك والمقرر فى كتبك. فهدا هو الحق الواضح
والجمود على المنقولات أبدا ضلال فى الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين
(الفروق, ج 1 ص 176_ 177).
“Manakala tradisi telah terbarui, ambillah, jika tidak, biarkanlah. Janganlah kamu bersikap terpaku terhadap apa yang tertulis dalam buku-bukumu sepanjang hidupmu.
Jika ada seseorang datang kepadamu dari luar daerahmu dengan maksud meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu sampaikan fatwa berdasarkan tradisi daerahmu.
Bertanyalah lebih dulu tentang tradisinya, dan berikanlah fatwa berdasarkan tradisinya, bukan tradisimu dan bukan pula menurut yang ada di buku-bukumu. Ini adalah cara yang benar dan jelas.”(Al-Qarafi, al-Furuq, I/176-177).
Pada akhirnya, saya kira menarik untuk mendukung pandangan Shahid Ali Muttaqi yang berpendapat bahwa kurban tidak harus berupa hewan, seperti kambing atau unta, melainkan apa saja yang menjadi kebutuhan pokok atau penting dalam komunitas tradisi.**
*12 Juli 24*