Susahnya Memimpin Seniman, juga Penulis
- Penulis : Bramantio Bayuajie
- Kamis, 29 Agustus 2024 16:35 WIB
LIFESTYLEABC.COM - “Memimpin seniman itu lebih susah dibandingkan memimpin negara.” Demikian kelakar Gus Dur, menceritakan pengalamannya ketika memimpin Dewan Kesenian Jakarta (DKJ, 1982-1985).
Ucapan Gus Dur inilah yang teringat ketika saya memimpin organisasi penulis SATUPENA. Lebih susah lagi, jika ini terjadi di era polarisasi politik seperti sekarang, era pilpres dan pilkada.
Bulan Agustus 2024, terjadi aksi protes yang meluas di kalangan aktivis mahasiswa, civil society, dan guru besar. Mereka protes dan khawatir saat itu atas rencana DPR menganulir putusan MK dengan cara membuat UU Pilkada baru.
Baca Juga: Peran SATUPENA di Bawah Kepemimpinan Denny JA Dalam Memperjuangkan Kepentingan Penulis di Era AI
Semangat protes itu dengan sendirinya terjadi pula di komunitas penulis. Tapi masalahnya, lebih dari 1000 penulis dari Aceh hingga Papua yang bernaung di Satupena memiliki sikap yang beragam.
Lebih dari 200 penulis anggota Satupena sendiri membuat petisi untuk situasi sekarang. Banyak yang bertanya pada saya, mengapa saya selaku ketua umum tidak ikut tanda tangan?
Saya jawab, petisi itu sikap sebagian penulis anggota Satupena, tapi bukan sikap semua anggota, dan bukan pula sikap organisasi Satupena. Sebagai organisasi, Satupena juga memiliki banyak anggota yang tak ingin ikut petisi.
Baca Juga: Denny JA Mengungkap Tiga Fakta Tercecer Sejarah Bangsa
Maka dibuatkanlah ekspresi lain, di luar petisi, yaitu buku bersama soal PILKADA 2024, CIVIL SOCIETY DAN MASA DEPAN DEMOKRASI. Penulis dapat bebas mengekspresikan pandangannya, tidak diseragamkan dalam petisi.
Sebanyak 250-300 penulis sudah mendaftar untuk menyatakan pandangannya, sebagian dalam bentuk esai, puisi, puisi esai, dan cerpen.
Buku ini nanti mungkin akan tercatat sebagai Rekor Satu Buku yang paling banyak penulisnya untuk berbagai jenis tulisan (esai, puisi, puisi esai, cerpen).
Baca Juga: Imajinasi Faktual dalam Lukisan Denny JA
Tak hanya berbeda soal bentuk tulisan, isi tulisan juga bisa beragam atas situasi masa kini. Hal yang lumrah pula jika pandangan penulis atas realitas politik, atau apapun, berada dalam spektrum paling kiri hingga paling kanan.
Saya sendiri selaku penulis memilih membuat esai, bukan petisi. Saya bisa berkompromi tentang banyak hal, tapi saya tak mau kompromi soal ekspresi tulisan.
Dalam petisi bersama, jelas harus ada kompromi kolektif tentang apa yang harus ada dan tidak. Harus juga ada kompromi bersama isi dari petisi itu.
Sementara untuk tulisan, saya tak mau berkompromi soal karya. Apa yang harus ada dan tidak dalam tulisan, saya ingin menentukan sendiri. Sikap ini tak bisa dan tak boleh untuk petisi bersama. Itulah kelemahan saya yang memang bukan tipe penanda tangan petisi bersama.
Apalagi soal isi. Tentu saya punya perspektif sendiri. Apalagi saya pecinta lagu Paul McCartney dan Stevie Wonder: "Ebony and Ivory." Ada satu liriknya: “There is good and bad in everywhere.”
Saya tak bisa menyatakan hanya hal yang buruk saja, atau baik saja, dari sebuah realitas politik. Tak cocok pula saya untuk jenis petisi.
Apalagi saya sudah mengantongi 7 indeks dari 7 lembaga dunia soal sisi ekonomi, politik, hukum, dan sosial selama 10 tahun pemerintahan Jokowi. Ada rapor merah, tapi lebih banyak rapor birunya. Pada waktunya, 7 indeks dunia itu saya umumkan.
Tapi ekspresi anggota penulis lain harus dihormati. Itu ekspresi dan petisi yang sah dari mereka yang prihatin pada isu demokrasi.
Lalu komunitas penulis, juga lainnya, di era ini pastilah memiliki WA Grup. Kembali, keberagaman anggota terlihat di sini.
Ada anggota yang sangat aktif meng-update petisi dan mengkritik situasi. Tak bisa pula hal ini dilarang. Mereka adalah jenis penulis aktivis yang kritis.
Tapi ada pula anggota yang penulis saja, bukan penulis aktivis, tak suka membaca debat politik praktis. Mereka memilih left the group.
Namun mereka juga anggota Satupena yang sah. Minat dan keberatan mereka harus pula diakomodasi. Maka akan dibuatkan WAG terpisah bernama WAG Satupena Non-Politik Praktis.
---
Saya merenungkan mengapa susah memimpin organisasi seniman, juga penulis. Indonesia sudah merdeka 79 tahun, tapi tak ada organisasi penulis nasional di Indonesia yang usianya di atas 20 tahun, misalnya.
Organisasi Satupena yang kini saya pimpin, sebelum saya terpilih menjadi ketua umum, sudah pula terpecah dua, di tahun ke-4 atau tahun ke-5. Ada dua organisasi yang sama-sama bernama Satupena, dengan akte yang sama, namun hanya beda pengurus saja.
Ketika saya menjadi ketua umum (2021-2026), saya berhasil membuat kepengurusan saya di Satupena menjadi satu-satunya yang sah di mata hukum. Ini saya lakukan di bulan pertama. Organisasi Satupena lainnya berganti nama.
Saya merenungkan mengapa menurut Gus Dur, memimpin seniman itu lebih susah dibandingkan mengurus negara? Termasuk juga mengurus penulis?
Berikut adalah tiga alasan utama yang menjelaskan fenomena ini:
*Pertama: Beragamnya Spektrum dan Persepsi Penulis*
Penulis adalah individu dengan latar belakang, pengalaman, dan pandangan hidup yang sangat beragam. Spektrum ide dan persepsi mereka terhadap berbagai isu—baik itu sosial, politik, budaya, atau artistik—sangat luas.
Hal ini membuat upaya untuk menyatukan mereka di bawah satu visi atau tujuan bersama menjadi sangat sulit.
Misalnya, dalam satu organisasi penulis, bisa terdapat anggota yang mendukung kebebasan berekspresi secara penuh, sementara yang lain mungkin lebih konservatif atau menganut nilai-nilai tertentu yang membatasi ekspresi tersebut.
Ketika perbedaan-perbedaan ini tidak bisa dijembatani, organisasi sering kali mengalami friksi internal yang bisa menyebabkan perpecahan.
*Kedua: Sensitivitas dan Militansi Penulis dalam Berpihak*
Penulis cenderung memiliki kepekaan yang tinggi terhadap isu-isu yang mereka tulis, dan mereka sering kali sangat militan dalam mempertahankan pandangan atau keyakinan mereka.
Ketika penulis berpihak pada suatu ide atau ideologi tertentu, mereka tidak hanya mendukungnya secara intelektual, tetapi juga dengan emosi yang mendalam.
Emosi ini dapat memperkuat solidaritas dalam kelompok, tetapi juga dapat memperuncing konflik ketika terjadi perbedaan pendapat.
Sejarah organisasi penulis di Indonesia, terutama di tahun 60-an, menunjukkan perselisihan internal sering kali diwarnai oleh perbedaan ideologis atau interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa penting, yang memicu perpecahan.
Misalnya, perbedaan pandangan antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan pada masa lalu menjadi salah satu contoh bagaimana militansi ideologis dapat meretakkan komunitas penulis.
*Ketiga: Tantangan Pembiayaan Kegiatan Jangka Panjang*
Organisasi penulis memerlukan dana untuk mendukung kegiatan mereka, seperti penerbitan karya, penyelenggaraan diskusi, atau kegiatan sosial lainnya.
Namun, pendanaan ini sering kali menjadi masalah yang sulit diatasi. Tidak banyak individu atau lembaga yang bersedia untuk secara konsisten membiayai kegiatan organisasi penulis dalam jangka waktu yang panjang, terutama jika kegiatan tersebut tidak memberikan keuntungan finansial yang langsung.
Selain itu, ketika sumber dana terbatas, sering kali muncul perdebatan tentang bagaimana dana tersebut harus dialokasikan, yang dapat menyebabkan konflik internal.
Data menunjukkan bahwa banyak organisasi budaya dan seni di Indonesia mengalami kesulitan dalam mencari pendanaan jangka panjang, yang pada akhirnya berdampak pada kelangsungan hidup organisasi tersebut.
Untuk kasus Satupena misalnya, selama tiga tahun memerlukan dana lebih dari tiga milyar rupiah. Siapa yang bersedia membiayainya?
Karena kini saya ketua umum, saya yang mengambil tanggung jawab itu. Tapi bersediakah ketua umum selanjutnya mengambil tanggung jawab yang sama soal finansial?
Menjadi pemimpin organisasi penulis di Indonesia, yang memiliki cabang di semua pulau, dari Aceh hingga Papua, yang membuat banyak kegiatan, memang "ngeri-ngeri sedap."*
29 Agustus 2024
*CATATAN*
(1) Pecahnya organisasi penulis Lekra dan Manikebu di tahun 1960-an.
Pertentangan Konsep Sastra Para Seniman Lekra dan Manikebu.