Susahnya Memimpin Seniman, juga Penulis
- Penulis : Bramantio Bayuajie
- Kamis, 29 Agustus 2024 16:35 WIB

Saya sendiri selaku penulis memilih membuat esai, bukan petisi. Saya bisa berkompromi tentang banyak hal, tapi saya tak mau kompromi soal ekspresi tulisan.
Dalam petisi bersama, jelas harus ada kompromi kolektif tentang apa yang harus ada dan tidak. Harus juga ada kompromi bersama isi dari petisi itu.
Sementara untuk tulisan, saya tak mau berkompromi soal karya. Apa yang harus ada dan tidak dalam tulisan, saya ingin menentukan sendiri. Sikap ini tak bisa dan tak boleh untuk petisi bersama. Itulah kelemahan saya yang memang bukan tipe penanda tangan petisi bersama.
Baca Juga: Peran SATUPENA di Bawah Kepemimpinan Denny JA Dalam Memperjuangkan Kepentingan Penulis di Era AI
Apalagi soal isi. Tentu saya punya perspektif sendiri. Apalagi saya pecinta lagu Paul McCartney dan Stevie Wonder: "Ebony and Ivory." Ada satu liriknya: “There is good and bad in everywhere.”
Saya tak bisa menyatakan hanya hal yang buruk saja, atau baik saja, dari sebuah realitas politik. Tak cocok pula saya untuk jenis petisi.
Apalagi saya sudah mengantongi 7 indeks dari 7 lembaga dunia soal sisi ekonomi, politik, hukum, dan sosial selama 10 tahun pemerintahan Jokowi. Ada rapor merah, tapi lebih banyak rapor birunya. Pada waktunya, 7 indeks dunia itu saya umumkan.
Baca Juga: Denny JA Mengungkap Tiga Fakta Tercecer Sejarah Bangsa
Tapi ekspresi anggota penulis lain harus dihormati. Itu ekspresi dan petisi yang sah dari mereka yang prihatin pada isu demokrasi.
Lalu komunitas penulis, juga lainnya, di era ini pastilah memiliki WA Grup. Kembali, keberagaman anggota terlihat di sini.
Ada anggota yang sangat aktif meng-update petisi dan mengkritik situasi. Tak bisa pula hal ini dilarang. Mereka adalah jenis penulis aktivis yang kritis.
Baca Juga: Imajinasi Faktual dalam Lukisan Denny JA
Tapi ada pula anggota yang penulis saja, bukan penulis aktivis, tak suka membaca debat politik praktis. Mereka memilih left the group.