DECEMBER 9, 2022
Puisi

Catatan Denny JA: Ibu, Kukirim Nyawaku Padamu, Sampaikah?

image

LIFESTYLEABC.COM - 1965, Bung Karno jatuh. Bujana, seorang pengagum Bung Karno, pelajar Indonesia di Yugoslavia, terperangkap dalam pengasingan. Ia rindu Indonesia, tapi takut pulang.

“Kutemukan jati diri,  
setelah hilang segala."

“Hilang tanah air,  
masih bisa kutahan.  
Hilang kepastian hidup,  
kubuat nyaman.  
Hilang identitas,  
menusuk hati,  
mengikis perlahan jiwa yang dulu kukenal.  
Tapi hilang kabar soal Ibu,  
merobek seluruh hidupku."

Baca Juga: Catatan Denny JA: Pemulung itu Seorang Doktor

Puluhan surat sudah kutulis untukmu, Ibu.  
Sampaikah?  
Mengapa tak berbalas?  
Atau mungkin,  
kau berubah menjadi kenangan yang memudar, 
hanyut di lautan waktu?  

Tapi aku masih mencarimu,  
di balik langit yang kelam,  
di antara hujan yang tak pernah henti.

Angin mengguncang keras pohon di seberang jalan,  
ranting-ranting melambai tak menentu,  
menjadi tangan yang berusaha meraih bayangan.  

Baca Juga: Orasi Denny JA: Mengapa Kita Perlu Forum Para Kreator di Era AI?

Wajah Ibu terayun di ujung ranting,  
melambai di balik kabut yang menutup masa lalu.

Hujan turun deras,  
mengguyur tubuh. 
Itu tangisan yang tak kenal henti.

Bujana kuyub,  
keringat dan rindu menyatu dengan air.  
20 tahun sudah berlalu,  
tanpa suara dari wanita yang mengajarkannya dunia.

Baca Juga: Catatan Denny JA: 12 Jam Protes Berbaring di Jalan Raya

Bujana,
asal Bali,  
tumbuh di bawah bendera revolusi.

Ia  pohon muda yang menari dalam angin cita-cita.  
Tahun 1960-an,  
Indonesia mengirimnya untuk belajar,  
ke Yugoslavia,  
menjadi mata dan tangan revolusi.

Ia pecinta Bung Karno,  
tergetar oleh gema perjuangan.
Bintang berdansa di jiwanya,  
ketika menerima kabar,  
beasiswa dari sang Pemimpin,  
untuk belajar dan menguatkan revolusi.

Baca Juga: Sekjen SATUPENA Satrio Arismunandar: Paus Fransiskus Membawa Nilai Inklusif dan Persatuan Antarumat Beragama

Namun revolusi tumbang,  
bersama Bung Karno,  
bersama impian.  
Tumbang pula harapan.  
Jika pulang, penjara menanti.  
Jika tak pulang, paspor pun terhapus.

Ia terombang-ambing,  
menjadi daun gugur,  
tak lagi memiliki tempat untuk jatuh.
Ia bukan lagi milik bumi mana pun.  

Ia adalah pohon diterbangkan badai,  
tercabut dari akar,  
mengembara di langit kosong,  
menunggu jatuh di tanah yang tak pernah datang.

“Ah, rindu kampung halaman,  
mengoyak tiap sudut jiwaku."

Bujana ingin mencicipi rasa masa lalu,  
Jaje kelepon kini hanya ilusi,  
jagung urap hadir dalam mimpi.  

Bau masakan ibu,  
Ayam Betutu yang semerbak,  
Nasi Jinggo menyelimuti malam.  

Suara gamelan membisikkan rindu,  
mengundangnya pulang,  
menjadi melodi masa lalu yang tak lagi bisa disentuh.

Di sudut Eropa Timur,  
Bujana semakin tua,  
ditemani istri dari Slovenia.  
Anak-anak sudah besar,  
cucu banyak tawa,  
tapi jiwanya tetap mengembara,  
selalu terbang ke rumah,  
yang tak pernah lagi bisa ia lihat.

Malam yang sunyi,  
salju turun perlahan,  
membawa dingin menusuk hati.  
Di bawah sinar bulan,  
ia melihat wajah itu.

Wajah yang tak pernah hilang,  
turun perlahan dari langit kelabu,  
dibawa angin dingin musim beku.  
Wajah Ibu,  
wajah masa lalu,  
wajah yang menyimpan seluruh rahasia waktu.

Air mata Bujana jatuh,  
tanpa suara,  
embun  menetes perlahan.  

Bisikan yang nyaris tak terdengar,  
ia memanggil,  
datang dari dalam diri:
“Ibu... Ibu..."

Dan dalam sunyi, 
ia merasa sentuhan lembut,  
angin menyapu wajahnya.  
Mungkin itu hanya ilusi,  
atau mungkin itu kenyataan yang tak bisa dipahami.

Namun di balik kesunyian,  
Bujana tahu,  
rindu pada Ibu,
tak pernah benar-benar mati.
Cinta untuk bunda kandung,
tak pernah hilang.**

21 September 2024

CATATAN

(1) Terinspirasi dan dikembangkan dengan fiksi tambahan dari hidup mahasiswa Indonesia asal Bali: Dewa Soeradjana yang terbuang akibat pergolakan politik tahun 1960-an.***

Berita Terkait