Catatan Denny JA: Aktivis Ideologi itu Memilih jadi Doktor
- Penulis : Bramantio Bayuajie
- Selasa, 08 Oktober 2024 09:20 WIB

Gunarto tinggalkan semua,
memilih jalan yang tenang.
Ia menyebrang ke Paris
-000-
Di Paris, ia hanya ingin menyelami heningnya meja bedah,
menitipkan hidup dalam setiap luka yang terjahit rapi.
Baca Juga: 4 Lukisan Karya Artificial Intelligence Denny JA: Era Dimulainya Karya Kolaborasi Kreator dan AI
Di ruang praktik yang tenang itu,
Gunarto dulu berdiri dengan dua wajah—
seorang dokter, penyembuh yang merawat luka,
dan seorang pejuang yang masih memegang sisa-sisa suara revolusi.
Namun seiring waktu, ia sadar. Itu dua wajah itu tak bisa bersanding.
Ideologi yang dulu membakar, kini terasa asing,
seperti pakaian yang tak lagi pas di tubuhnya.
Ia lepaskan beban kata-kata yang pernah memanggilnya ke medan pertempuran,
membiarkannya jatuh satu per satu,
seperti daun-daun kering yang gugur di musim dingin.
Baca Juga: Orasi Denny JA: Menemukan Gagasan Besar di Setiap Zaman
Kini, yang tersisa hanya panggilan sederhana,
pisau bedah yang mengulurkan kasih tanpa suara,
menyentuh luka dengan keheningan yang lebih bermakna dari teriakan.
Ia tak lagi tergerak oleh gemuruh revolusi,
yang dulu ia kira panggilan suci,
namun kini terasa hanya gema asing,
jauh dari kedalaman yang benar-benar ia cari.
Di meja bedah, ia temukan ketenangan,
pisau bedah menggantikan senjata,
sayatan yang dalam menjadi bisikan,
setiap luka yang ia tutup dengan jahitan,
meninggalkan kasih yang dulu hanya mimpi.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Kuburan Mereka Berserakan di Berbagai Negara
Pisau bedahnya menjadi puisi.
Setiap luka yang pulih adalah prosa.