Peraturan Gencatan Senjata yang Disepakati Antara Palestina dan Israel
- Penulis : Bramantio Bayuajie
- Kamis, 16 Januari 2025 14:55 WIB
Israel juga akan menarik pasukannya dari wilayah pemukiman padat penduduk di Gaza ke area yang tidak lebih dari 700 meter dari perbatasan Gaza dengan Israel. Selain itu, warga sipil akan diizinkan kembali ke rumah mereka di wilayah utara yang sebelumnya terkepung, dan Israel akan membuka jalur bantuan hingga 600 truk per hari untuk masuk ke wilayah tersebut.
Warga Palestina yang terluka akan diperbolehkan meninggalkan Gaza untuk mendapatkan perawatan medis, dan penyeberangan Rafah dengan Mesir akan dibuka tujuh hari setelah tahap pertama dimulai.
Pasukan Israel akan mengurangi keberadaannya di Koridor Philadelphi, yaitu area perbatasan antara Mesir dan Gaza, dan akan mundur sepenuhnya paling lambat 50 hari setelah perjanjian ini berlaku.
Baca Juga: Erdogan Desak Israel Hentikan Serangan ke Palestina dan Lebanon untuk Kurangi Ketegangan
Fase kedua
Jika semua persyaratan fase kedua terpenuhi, Hamas akan melepaskan seluruh tawanan yang masih hidup, terutama tentara laki-laki, sebagai imbalan atas pembebasan lebih banyak tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel. Pada tahap ini, Israel juga akan memulai proses penarikan pasukan secara menyeluruh dari Gaza.
Fase ketiga
Baca Juga: Emmanuel Macron Respon Serangan dan Operasi Militer Israel ke Lebanon
Apabila persyaratan fase kedua berhasil dilaksanakan, jenazah para tawanan yang tersisa akan diserahkan. Sebagai gantinya, akan dilaksanakan rencana rekonstruksi Gaza selama tiga hingga lima tahun yang berada di bawah pengawasan internasional.
Hukum gencatan senjata
Lalu, bagaimana sebenarnya hukum gencatan senjata itu sendiri di mata hukum internasional? Secara umum, gencatan senjata adalah penghentian sementara atau permanen dari tindakan kekerasan antara pihak-pihak yang berperang.
Dalam konteks hukum internasional, gencatan senjata diatur untuk memberikan ruang bagi diplomasi, perlindungan terhadap korban sipil, dan pengurangan eskalasi kekerasan.
Baca Juga: Kemenangan Donald Trump Kabar Buruk bagi Perjuangan Kemerdekaan Palestina
Hukum gencatan senjata berada di bawah payung hukum humaniter internasional (International Humanitarian Law/IHL), khususnya yang diatur dalam Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya. Beberapa prinsip utama dalam hukum gencatan senjata meliputi:
1. Persetujuan semua pihak yang terlibat
Gencatan senjata harus didasarkan pada kesepakatan semua pihak yang bertikai. Persetujuan ini biasanya dituangkan dalam dokumen resmi seperti perjanjian atau resolusi yang difasilitasi oleh mediator internasional.
2. Kewajiban untuk mematuhi
Setelah gencatan senjata disepakati, semua pihak berkewajiban untuk menghormatinya. Pelanggaran terhadap gencatan senjata dapat dianggap sebagai tindakan yang melanggar hukum internasional dan dapat memicu sanksi atau konsekuensi diplomatik.
3. Tujuan kemanusiaan
Salah satu tujuan utama gencatan senjata adalah untuk melindungi populasi sipil, memberikan akses bagi bantuan kemanusiaan, dan memungkinkan evakuasi korban perang.
Jenis-jenis gencatan senjata
Gencatan senjata dapat dibagi ke dalam beberapa kategori berdasarkan durasi dan tujuan:
1. Gencatan senjata sementara
Biasanya berlangsung selama beberapa jam atau hari untuk tujuan spesifik, seperti memungkinkan perawatan korban luka atau distribusi bantuan kemanusiaan.
2. Gencatan senjata permanen
Bertujuan untuk mengakhiri konflik secara permanen dan biasanya diikuti oleh perjanjian damai yang lebih komprehensif.
Gencatan senjata lokal
Berlaku hanya pada area atau wilayah tertentu yang dianggap krusial, misalnya untuk melindungi zona demiliterisasi atau kawasan yang dihuni oleh warga sipil.
Tantangan dalam pelaksanaan
Meskipun gencatan senjata memiliki dasar hukum yang kuat, implementasinya sering kali menghadapi berbagai tantangan, antara lain:
1. Kurangnya rasa kepercayaan antar pihak
Dalam konflik bersenjata, kepercayaan antara pihak-pihak yang bertikai sering kali berada pada titik terendah. Hal ini dapat menyebabkan keraguan terhadap komitmen pihak lain untuk mematuhi gencatan senjata yang sedang terjadi.
2. Pelanggaran gencatan senjata
Beberapa pihak mungkin menggunakan gencatan senjata untuk memperkuat posisi militer mereka, sehingga memicu pelanggaran dan eskalasi konflik.
3. Kesulitan pemantauan
Dalam beberapa kasus, tidak ada mekanisme pemantauan yang memadai untuk memastikan bahwa semua pihak mematuhi gencatan senjata. Ketiadaan pengawasan ini dapat menghambat implementasi yang efektif.
Contoh Kasus dalam Sejarah
1. Keberhasilan dalam gencatan senjata
Sejarah mencatat berbagai gencatan senjata yang berhasil maupun yang gagal. Salah satu contoh keberhasilan adalah gencatan senjata yang dicapai selama Perang Dunia I pada Natal 1914 di perbatasan Belgia, saat itu tentara Jerman dan Sekutu menghentikan pertempuran sementara untuk merayakan Natal bersama.
Meskipun hanya berlangsung beberapa hari, peristiwa ini menunjukkan adanya nilai kemanusiaan bahkan di tengah perang.
2. Kegagalan dalam gencatan senjata
Sebaliknya, ada juga gencatan senjata yang gagal, seperti beberapa perjanjian dalam konflik Israel-Palestina sebelumnya. Meskipun gencatan senjata sering kali diumumkan, pelanggaran kerap terjadi, baik karena serangan mendadak maupun kegagalan dalam menjaga kepercayaan antara kedua belah pihak.
Implikasi hukum pelanggaran gencatan senjata
Pelanggaran terhadap gencatan senjata dapat memiliki implikasi hukum yang serius. Menurut hukum internasional, pelanggaran tersebut dapat dianggap sebagai kejahatan perang jika menyebabkan korban jiwa atau penderitaan yang tidak semestinya terjadi pada populasi sipil.
Mahkamah Internasional atau tribunal khusus dapat memproses pelanggaran ini, tergantung pada konteks dan skala konflik.
Gencatan senjata adalah alat penting dalam upaya mengakhiri konflik bersenjata dan melindungi populasi sipil dari dampak perang. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada komitmen pihak-pihak yang terlibat, mekanisme pemantauan, dan dukungan komunitas internasional.