Inspirasi Politik dari Mata Air Bung Karno dan Bung Sjahrir
- Penulis : Bramantio Bayuajie
- Kamis, 04 Juli 2024 09:15 WIB
Di bawah bayang-bayang penjajahan Belanda, Bung Karno dan Bung Sjahrir awalnya berdiri sebagai dua sahabat yang berbagi mimpi besar. Mereka dua bintang di langit perjuangan, menerangi jalan menuju kemerdekaan.
Soekarno, dengan kharismanya yang memukau, menggerakkan massa melalui pidato-pidato membara. Sjahrir, dengan kecerdasan dan tulisannya yang tajam, memberikan arah dan strategi. Bersama-sama, mereka menanam benih harapan di tanah air yang terjajah.
Namun, ketika Jepang datang, jalan mereka mulai berbeda. Soekarno memilih jalan kerjasama, kooperasi. Dia melihat Jepang sebagai peluang, sebagai jembatan menuju kemerdekaan.
Bung Karno memanfaatkan setiap celah untuk memperkuat gerakan nasional.
Di sisi lain, Sjahrir memilih jalan tidak kerjasama dengan Jepang, non-kooperasi. Dia skeptis terhadap janji-janji Jepang. Ia lebih memilih bergerak di bawah tanah, menyusun rencana dari akar rumput.
Dua sahabat ini mulai mengambil jalan yang berbeda, meski tujuan mereka tetap sama: kemerdekaan Indonesia. (1)
Saat proklamasi kemerdekaan tiba, perbedaan itu semakin mencolok. Sjahrir, sebagai Perdana Menteri pertama, mendorong demokrasi parlementer.
Ia percaya pada partisipasi politik yang luas dan kebebasan sipil. Demokrasi, menurutnya, adalah cermin dari kedaulatan rakyat.
Soekarno, sebaliknya, semakin frustasi dengan ketidakstabilan politik. Ia memperkenalkan Demokrasi Terpimpin, di mana presiden memegang kendali penuh. Soekarno melihat ini sebagai jalan untuk memastikan stabilitas dan kemajuan.
Dua visi ini, satu tentang kebebasan dan yang lain tentang kekuatan terpusat, mulai memisahkan mereka.
Perbedaan pandangan juga tampak dalam sikap mereka terhadap komunisme. Soekarno merangkul komunisme sebagai bagian dari konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Ia percaya menggabungkan ketiganya akan menciptakan keseimbangan dan kekuatan.