Catatan Denny JA: Kincir Angin Tak Bisa Menahan Rinduku
- Penulis : Bramantio Bayuajie
- Sabtu, 28 September 2024 17:35 WIB
![image](https://img.lifestyleabc.com/2024/09/28/20240928102645WhatsApp_Image_2024-09-28_at_09_42_08.jpeg)
LIFESTYLEABC.COM - Di usia senja, di Amsterdam, Sarjono rindu pulang ke Indonesia. Tapi trauma politik tahun 1960-an, lebih kuat membayang
Dari jendela rumah, di kota
Amsterdam, kincir angin berputar, meniup langit.
Tapi angin yang sampai padanya,
membawa harum pematang sawah,
dan aroma kampung halamannya yang jauh
Kota Malang, tempat kenangan tertinggal.
Awan di Amsterdam menggambar pepohonan rindang,
di sepanjang jalan menuju Alun-Alun Tugu, di Kota Malang,
tempat ia pernah tertawa lepas dengan teman-teman.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mencari Akar Keluarga di Kebumen
Tulip yang mekar di musim semi,
di Belanda,
berubah menjadi melati putih yang mekar di beranda rumah, di Kota Malang,
melati yang dulu ia petik untuk ibu,
sebelum segalanya berubah.
Burung yang terbang di Amsterdam,
membawa nasi rawon hangat,
yang selalu ia nikmati di pagi sejuk kampung halaman.
“Oh, Kota Malang,
aku tak pernah benar-benar meninggalkanmu,
tapi pulang ke sana kini terasa semakin jauh,
seperti mimpi yang tak terjangkau."
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mereka yang Terbuang Tahun 1960-an
Sarjono semakin tua,
usia 85 menghantam tubuhnya,
setiap hari adalah pertarungan melawan rindu
yang tak pernah terobati.
Pagi itu, masa lalu menyeretnya kembali.
Tahun 1960-an, awalnya berwarna cerah, berubah hitam.
Ia pergi ke Moskow, penuh harapan.
Mengejar ilmu, membangun tanah air,
tapi sejarah menebasnya dari belakang,
membawa gelap yang tak terduga.
Baca Juga: 4 Lukisan Karya Artificial Intelligence Denny JA: Era Dimulainya Karya Kolaborasi Kreator dan AI
Bung Karno tumbang.
Pulang berarti dipenjara.
Masa depan digulung, menjadi kertas yang dibakar,
hilang begitu saja.