DECEMBER 9, 2022
Puisi

Catatan Denny JA: Mereka yang Terbuang Tahun 1960-an

image

LIFESTYLEABC.COM - Prahara politik di tahun 1960-an mengguncang Indonesia. Asnawi, seorang pemuda penuh harapan, belajar di Moskow, kehilangan dua hal yang ia cintai: negaranya dan kekasihnya.

Musim dingin di Praha,  
salju turun perlahan, menutupi jejak-jejak yang hilang.  
Namun, ada luka yang tak ikut lenyap,  
luka karena hilangnya negara,  
luka karena sirnanya cinta.  

Luka itu mengendap di hati. 
Duri mengiris dalam diam,  
tak terlihat tapi selalu ada.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ayah, Semoga Abu Jasadmu Sampai ke Pantai Indonesia

Sejauh itu daun melayang,  
seperih itu jerit anak rusa yang tersesat,  
terlupakan di antara pepohonan waktu.  

Langkah hilang, suara tenggelam,  
sejarah menjadi hutan yang penuh duri dan jalan buntu.

Tahun 60-an.  
Bintang-bintang bersinar di hati Asnawi, (1)
di dalamnya, ia melihat masa depan.  

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mencari Akar Keluarga di Kebumen

Ia terpilih,  
sayapnya terbentang,  
Bung Karno mengirimnya ke Moskow,  
untuk menimba ilmu,  
bekal membangun negeri,  
tanah yang ia cintai seperti darah dalam nadinya.

Saat itu, semuanya terasa mungkin.  
Ia yakin, tanah air menantinya,  
dan kekasih yang setia menunggu di ujung senja.

Di bawah pohon kamboja,  
Nirmala menaruh bunga di tangannya.  
"Kakak, aku menunggumu pulang,"  
suaranya lembut, sehalus angin yang menyapu dedaunan.  

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ibu, Kukirim Nyawaku Padamu, Sampaikah?

Dua burung berputar di atas mereka,  
seperti janji yang melayang di udara,  
dua kelopak bunga berpelukan, diam dalam makna.

Di Moskow,  
Asnawi belajar keras,  
tapi bahkan namanya berubah.  
Tak ada huruf “W” di sana.  
"W" menjadi "V",  
Asnawi menjadi Asnavi,  
seolah nasibnya ikut berubah bersama namanya.  

Nama yang lama hilang.
Dalam hati ia bertanya,  
"Apakah aku kehilangan diriku juga?"

Musim semi tiba.  
Di toko kecil di Arbat Street,  
Asnavi membeli dua cincin kecil,  
penanda janji yang selalu ia bawa dalam pikirannya.  

Setiap malam, wajah Nirmala menghiasi langit-langit kamarnya,  
cinta yang tak terjangkau,  
harapan yang tertambat pada sepotong logam.

Namun, takdir menulis kisah lain.  
Angin sejarah berputar liar,  
tahun 1965,  
Bung Karno jatuh,  
Indonesia terguncang,  
dan mereka yang belajar di negeri jauh dipanggil pulang,  
bukan untuk membangun, tapi untuk dihukum.

Nama Asnawi masuk daftar hitam,  
pengkhianat, begitu mereka berkata.  

Jika pulang, penjara menanti,  
jika tak pulang, ia tanpa negara,  
tanpa tanah untuk berpijak,  
tanpa langit untuk menatap.

Hari-hari bergulir seperti salju yang tak pernah berhenti.  
Paspor hilang,  
negara lenyap,  
dan surat-surat dari Nirmala memudar.
Semua menjadi mimpi,
yang terhapus oleh fajar.

Asnavi pindah ke Praha,  
kota asing yang ia paksa menjadi tempat bertahan,  
namun di hatinya, cinta untuk Nirmala masih menyala,  
tertahan dalam celah harapan,  
seperti api kecil yang melawan angin.

Tahun 1998,  
angin reformasi menyapu tanah air.  
Soeharto jatuh,  
pintu pulang terbuka,  
dan di hati Asnavi,  
harapan terakhir bersinar kembali,  
mungkinkah janji yang tertinggal di masa lalu bisa ditebus?

Namun, kabar yang datang adalah hujan es.  
Menyakitkan,  
Nirmala sudah menikah.  
Ketika Asnavi sampai di Cianjur,  
rumah-rumah yang dulu dikenalnya kini asing,  
tak ada lagi burung riang yang terbang di atas kepala mereka,  
tak ada lagi kelopak bunga yang dulu berpelukan.

Di depan pintu,  
dengan mata yang penuh air, Nirmala berkata,  
"Dulu aku menunggumu,  
tapi kabar tak pernah datang.  
Cinta itu tetap kusimpan,  
tapi aku punya dua anak kini,  
mereka butuh ayahnya."

Asnavi diam.  
Hanya hatinya yang berbicara,  
namun tak ada kata yang keluar.  
Cinta mereka tak pernah hilang,  
tapi waktu telah menguburnya dalam-dalam,  
seperti negara yang dulu ia perjuangkan,  
kini tinggal bayangan di balik tirai yang menutupi sejarah.

Asnavi kembali ke Praha,  
niat hidup kembali di tanah air,  
ia urungkan,  
dan di antara salju yang turun tanpa janji,  
ia sadar,  
perih itu bukan hanya karena dingin.  

Perih itu adalah luka yang tak pernah sembuh,  
hilangnya negara,  
hilangnya kekasih,  
dua sayap yang patah dalam badai waktu.

Cinta tak pernah salah,  
bisiknya,  
tapi waktu,  
dialah yang memutuskan segala.***

Jakarta, 23 Sept 2024

CATATAN

(1) Diinspirasi tapi ditambahkan fiksi, dari kisah mahasiswa Indonesia tahun 1960-an, karena prahara politik dalam negeri, tak bisa pulang: Anwar Poernama

Sumber: Kiriman

Berita Terkait