Catatan Denny JA: Mereka yang Terbuang Tahun 1960-an
- Penulis : Bramantio Bayuajie
- Senin, 23 September 2024 09:46 WIB

Di Moskow,
Asnawi belajar keras,
tapi bahkan namanya berubah.
Tak ada huruf “W” di sana.
"W" menjadi "V",
Asnawi menjadi Asnavi,
seolah nasibnya ikut berubah bersama namanya.
Nama yang lama hilang.
Dalam hati ia bertanya,
"Apakah aku kehilangan diriku juga?"
Musim semi tiba.
Di toko kecil di Arbat Street,
Asnavi membeli dua cincin kecil,
penanda janji yang selalu ia bawa dalam pikirannya.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ayah, Semoga Abu Jasadmu Sampai ke Pantai Indonesia
Setiap malam, wajah Nirmala menghiasi langit-langit kamarnya,
cinta yang tak terjangkau,
harapan yang tertambat pada sepotong logam.
Namun, takdir menulis kisah lain.
Angin sejarah berputar liar,
tahun 1965,
Bung Karno jatuh,
Indonesia terguncang,
dan mereka yang belajar di negeri jauh dipanggil pulang,
bukan untuk membangun, tapi untuk dihukum.
Nama Asnawi masuk daftar hitam,
pengkhianat, begitu mereka berkata.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mencari Akar Keluarga di Kebumen
Jika pulang, penjara menanti,
jika tak pulang, ia tanpa negara,
tanpa tanah untuk berpijak,
tanpa langit untuk menatap.
Hari-hari bergulir seperti salju yang tak pernah berhenti.
Paspor hilang,
negara lenyap,
dan surat-surat dari Nirmala memudar.
Semua menjadi mimpi,
yang terhapus oleh fajar.
Asnavi pindah ke Praha,
kota asing yang ia paksa menjadi tempat bertahan,
namun di hatinya, cinta untuk Nirmala masih menyala,
tertahan dalam celah harapan,
seperti api kecil yang melawan angin.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ibu, Kukirim Nyawaku Padamu, Sampaikah?
Tahun 1998,
angin reformasi menyapu tanah air.
Soeharto jatuh,
pintu pulang terbuka,
dan di hati Asnavi,
harapan terakhir bersinar kembali,
mungkinkah janji yang tertinggal di masa lalu bisa ditebus?