Catatan Denny JA: Kincir Angin Tak Bisa Menahan Rinduku
- Penulis : Bramantio Bayuajie
- Sabtu, 28 September 2024 17:35 WIB
Tak ada jalan pulang bagi mereka yang ditandai,
bagi mereka yang belajar di blok Timur.
Seperti burung yang patah sayap,
Sarjono terjatuh, terasing di negeri yang dingin.
Dari Moskow, ia tersapu ke Amsterdam,
kota yang hampa,
sebuah pelarian yang tak menawarkan kehangatan.
Setiap langkahnya di Belanda,
selalu dihantui jejak-jejak yang tertinggal di tanah airnya.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mencari Akar Keluarga di Kebumen
Di tahun dua ribu dua puluh dua,
Jokowi membuka lembar luka lama,
mengakui kesalahan yang telah merobek bangsa,
hak-hak yang direnggut,
mereka yang terusir dan tak lagi bisa pulang.
Dalam janji yang terdengar tegas,
Jokowi tawarkan jalan pulang,
bagi eksil yang terbuang,
bagi mereka yang masih menyimpan rindu di kejauhan.
Sarjono mengemasi harapannya,
tapi teman-temannya bersuara,
"Tidak cukup! Maaf harus terdengar,
tanpa itu, luka tak akan sembuh,
rindu tetap akan berdarah."
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mereka yang Terbuang Tahun 1960-an
Akhirnya, jalan pulang itu tertutup kembali,
Kata sepakat tak pernah bertemu.
Dari jendela, Sarjono menatap kincir angin yang terus berputar,
seperti roda hidupnya, yang bergerak,
namun selalu tertahan di tempat.
Ia seperti burung yang tersangkut di dua sarang—
Amsterdam memberi kehidupan,
namun Kota Malang menahannya dengan rindu yang tak terurai.
Baca Juga: 4 Lukisan Karya Artificial Intelligence Denny JA: Era Dimulainya Karya Kolaborasi Kreator dan AI
Salju turun di Amsterdam membawa pesan yang tak tertulis,
bahwa tubuh mungkin tak akan pernah pulang,
tapi jiwa,
akan selalu berkelana di pematang sawah yang basah,
di jalanan Kota Malang yang beraroma tanah hujan.